PELALAWAN – Benang kusut pengelolaan perkebunan sawit oleh PT Sari Lembah Subur (SLS), grup Astra Agro Lestari, kian hari kian rumit. Satu per satu masalah muncul ke permukaan: ribuan hektare kebun kemitraan yang ternyata masuk kawasan hutan, ratusan hektare lahan eks SLS di Banjar Panjang yang diduga tanah rakyat, hingga operasional pabrik yang disebut belum memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) dan berdiri di atas lahan warga yang belum diganti rugi.
Data yang terungkap menunjukkan sekitar 1.634 hektare kebun KKPA Koperasi Jasa Sepakat ternyata berada di dalam kawasan hutan produksi tetap dan konversi. Akibatnya, ribuan kapling kebun tidak bisa diterbitkan sertifikat, meski koperasi telah melunasi utang hampir Rp40 miliar ke PT SLS dengan pinjaman bank.
“Kami bermitra resmi, tapi sekarang kami terjebak karena kebun tak bisa disertifikatkan,” keluh seorang anggota koperasi.
Persoalan lain mencuat ketika 681,01 hektare lahan eks SLS diserahkan kepada KSO Kelompok Tani Kampar Jaya. Aktivis agraria menuding, yang benar-benar disita dari perusahaan hanya sekitar 30 hektare, sementara sisanya adalah kebun rakyat termasuk plasma KKPA dan pemukiman yang sudah berdiri lama.
“Ini jelas menabrak hak masyarakat. Ada dugaan skenario tukar guling yang dilegalkan Satgas,” kata penggiat agraria, Ahmad Yanis.
Pabrik 1 SLS Belum HGB
Masalah terbaru datang dari Pabrik 1 PT SLS di Dusun Bukit Garam, Kecamatan Kerumutan. Kuasa hukum ahli waris pemilik lahan 20 hektare, Adi Saputra, menuding sebagian besar areal pabrik belum memiliki HGB dan berdiri di atas tanah warga yang belum pernah diganti rugi. Dari total 11,24 hektare areal pabrik, hanya 4,71 hektare yang sudah ber-HGB, sementara 6,53 hektare sisanya—termasuk kolam limbah dan area bongkar muat—belum berstatus hukum jelas.
“Bayangkan, pabrik sudah beroperasi lebih 25 tahun, tapi sebagian arealnya diduga tanpa HGB. Ahli waris sudah dua kali melayangkan somasi, tapi PT SLS tak pernah menanggapi,” tegas Adi. Ia meminta Bupati Pelalawan menghentikan operasional pabrik sampai ada kejelasan ganti rugi dan penerbitan HGB.
Dari kebun plasma hingga pabrik, nama PT SLS kini identik dengan masalah agraria yang tak kunjung selesai. Ribuan hektare lahan bermasalah, utang bank dengan jaminan kebun di kawasan hutan, klaim eks SLS yang menabrak tanah rakyat, hingga pabrik yang diduga belum berizin lengkap.
Publik kini menunggu, apakah Pemkab Pelalawan dan pemerintah pusat berani bersikap tegas menuntaskan persoalan ini, atau justru membiarkan rakyat kembali jadi korban dari ruwetnya konflik lahan perkebunan. (Ujg)